Matahari pada waktu itu sudah dimakzulkan dari puncak kekuasaannya atas panas yang menyengat diatas kepala manusia. Warna langit dibagian barat nampaknya mulai menguning seperti salah satu partai politik yang saat ini berebut asa dan kuasa lewat musyawarah nasional yang tiada berujung. Aktivitas manusia mulai menunjukkan eksistensinya dengan menyesaki ruas-ruas jalan raya yang mulai memanjang, seiring dengan kembalinya para pengemis ilmu di kota yang kurang luas ini.
Berkisah tentang senja kala itu, ada dua belas manusia yang beranggotakan tujuh orang pria dan lima orang perempuan yang ingin menembus cakrawala jawa timur dan menahan dinginnya jalanan. Mereka mempunyai rencana untuk bepergian ke salah satu puncak bukit dengan ketinggian 2900 Mdpl di wilayah lumajang jawa timur. Bukit tersebut bernama B29, bukit yang menurut cerita dari orang-orang yang pernah kesana merupakan bukit yang serasa diatas awan. Apalagi ada yang bercerita bila bersama sang kekasih, bukit dan deburan awan serasa milik berdua.
Rencana liburan kala itu diwacanakan secara mendadak, layaknya polisi pamong praja yang tiba-tiba muncul dihadapan pedagang kaki lima yang tak berdosa. Akibat liburan yang mendadak, timbullah suatu perasaan panik yang tiada bertepi. Senja pun mulai syahdu mengiringi perjalan kami ke tempat wisata itu. Kami pun sadar akan konsekuensi yang kami dapatkan akibat bepergian di kala senja, matahari mulai istirahat dan rasanya bulan tidak cukup terang untuk menggantikan posisi matahari di hati.
Setelah dirasa cukup siap, kami berangkat menuju tempat dengan menunggangi satu motor sport, tiga motor matic, dan tiga motor bukan sport ataupun matic dengan kondisi setengah jadul. Lantas enam motor yang kami tunggangi melesat dengan kecepatan 50 km/jam, memecah kepadatan jalan veteran dan menembus lampu merah rampal. Ketua perjalanan bernama oktavianus merasa cemas, melihat pasukannya dengan santai melenggak mengendarai motornya. Padahal kami semua dituntut untuk cepat sampai di tempat, menghindari gelap gulitanya jalanan hutan yang sunyi layaknya hati seorang wanita yang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang.
Sesudah melewati ruas-ruas jalan di kota malang, tak terasa roda-roda motor kami telah menginjak wilayah jalan berliku di wisata bromo tengger. Kami pun melesat dan menghirup dinginnya kegelapan yang diterangi lampu motor. Sebelum beranjak ke jalanan setapak, kami berhenti di sebuah warung untuk mengisi bahan bakar motor dan mengisi perut yang telah disesaki jeritan kelaparan. Setelah dirasa telah cukup kuat dan siap, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalanan setapak yang gelap gulita nampaknya sudah mulai menyerang dan ingin dijajaki oleh para pendaki amatiran ini. Inilah awal dari kesulitan yang akan dirasakan.
Jalanan setapak ini terletak di jalan penanjakan Ranupani. Jalan yang awalnya dikhususkan untuk pendaki ini, tiba-tiba dilewati oleh dua belas pemuda pemudi yang mengendarai enam motornya dengan memotong jalan menuju puncak bukit. Tak ada daya dan kuasa, karena interuksi dari ketua rombongan mengaharuskan untuk seperti itu. Seakan kita terbelenggu oleh sistem birokrasi yang kaku dan tidak demokratis. Akhirnya motor pun dipaksa untuk merasakan sakitnya bebeatuan yang seharusnya motor trail lah yang bisa melenggak dengan bebasnya. Salah satu dari teman kami yang memiliki ukuran badan tiga kali dari manusia normal pun dipaksa untuk berjalan kaki menyusuri jalanan yang tak manusiawi tersebut. Dengan tujuan menghindari kemrosotan motor apalagi sampai kemrosotan moral.
Di tengah perjalanan menyusuri jalan yang maha curam tersebut, satu motor sport yang hanya keren di sampulnya dan satu motor matic mengalami kemogokan. Ini adalah kenyataan awal dari kekhawatiran kami melewati jalan itu. Dengan ditemani dingin yang kejam, beberapa orang dari rombongan memutuskan untuk mendorong motor yang berat dengan posisi jalan yang menanjak. Akhirnya, keluarlah maklumat dari ketua rombongan yang mengaharuskan saya dan beberapa teman untuk mencari bantuan. Dengan mengendarai motor yang setengah jadul dan mengawal dinginnya malam disertai dinginnya hati, beberapa orang dari kami menuju kearah perkampungan dengan maksud meminta bantuan untuk dua motor yang mogok. Sesampainya di wilayah perkampungan yang nampak sepi, kami memutuskan untuk lanjut kearah atas karena dirasa perkampungan tersebut tidak ada malaikat penolong untuk motor-motor rombongan kami. Tak terasa mungkin karena terlalu asyik mengendarai motor keatas, kami pun telah sampai di salah satu warung yang sangat dekat dengan tujuan kami yaitu puncak B29. Dengan mengucap syukur kami pun akhirnya menemui bapak-bapak paruhbaya yang sanggup untuk membantu membenarkan motor rombongan yang mogok dibawah. Kami yang sampai atas senantiasa berdo’a agar teman-teman yang ada dibawah selalu baik-baik saja bersama motor mogoknya itu.
Si bapak pun turun dan beberapa menit kemudian, teman-teman yang tadinya dibawah telah sampai di warung yang kami singgahi. Dengan perasaan yang tak karuan bahagianya, kami pun mulai bergegas mengeluarkan tenda di dalam tas carier dan mulai untuk naik keatas bukit yang kira-kira hanya berjarak seratus meter dari warung. Akhirnya terpasanglah tenda diatas puncak bukit dengan penuh kebahagian. Kami pun beristirahat di kegelapan dan dinginnya puncak B29, sembari menunggu hangatnya sang fajar yang kami rindukan. Sekian.
Author Info:
Muhammad Fikri Bagus Pratama
Artikel kontribusi pembaca tidak diedit oleh Explore Gunung. Explore Gunung hanya menyediakan platform untuk mempublikasikan artikel. Semua Konten dari artikel adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.